Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
(1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى)
adalah seorang teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su’udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini sering
disebut Wahhabi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafi atau Muwahhidun yang berarti “satu Tuhan”.
Genealogi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki
nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif
at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Biografi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah
sosok yang sangat kontroversial. Menurut para pengikutnya yang menamakan
dirinya sebagai kelompok Muwahhidun atau sekarang berganti nama Salafi
(oleh lawannya disebut Wahabi) menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab
sebagai Syaikhul Islam Pejuang Tauhid yang memurnikan agama Islam. Namun
oleh lawannya, Muhammad bin Abdul Wahhab disebut sebagai sosok yang
ekstrim yang menyesatkan.
Istilah Wahabi atau Wahhabi atau
al-Wahabiyyah diambil dan dihubungkan dengan nama pendirinya yaitu
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb. Meskipun akhir-akhir ini nama Wahabi
digugat oleh para pengikut Wahabi kontemporer, yang sekarang lebih
dikenal dengan istilah Salafi/ pengikut Manhaj Salaf. Menurut mereka
penamaan Wahabi saja sudah salah. Orang yang mempelopori gerakan
tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab mengapa dinisbatkan dengan nama
Wahabi dan bukan Muhammadiyah karena yang mendirikan namanya adalah
Muhammad bukan Abdul Wahab (bukan ayahnya)?
Boleh saja mereka bertanya demikian,
tetapi pernyataan tersebut sebenarnya pertanyaan yang lucu dan
menggelikan. Ingat, dalam tradisi Arab, penisabatan bukan pada nama
pendiri sebuah madzhab/ golongan adalah hal yang biasa. Sebagai contoh
pendiri madzhab Syafi’i adalah al-Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid
bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf. Dari sini jelas, istilah
madzhab Syafi’i tidak diambil dari nama pendirinya Muhammad bin Idris
tetapi dari nama kakeknya Syafi’ bin as-Saib. Begitu juga istilah
madzhab Hanbali yang diambil dari nama kakeknya Hambal bin Hilal
sedangkan nama asli pendirinya adalah al-Imam Ahmad bin Muhammad Hambal
bin Hilal. Lain lagi dengan istilah madzhab Hanafi yang diambil nama
anak dari pendiri madzhab tersebut, padahal nama asli pendirinya adalah
al-Imam Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dan masih banyak lagi
contoh-contoh lain. Selain itu meninggalkan istilah Muhammadiyyah tidak
lain bertujuan untuk membedakan di antara para pengikut Nabi Muhammad
SAW dengan pengikut madzhab mereka.
Lebih menggelikan lagi, kelompok Wahabi
kontemporer juga mengingatkan umat Islam agar jangan asal main-main
dengan sebutan Wahabi. Menurutnya, nama Wahabi dinistbatkan dengan nama
“Al Wahhab” yang merupakan salah satu nama Allah SWT. Sungguh ini
pernyataan yang sangat dipaksakan. Karena tidak ada satu pun dari kaum
muslimin yang bermaksud menisbatkan sekte yang didirikan oleh Muhammad
bin Abdul Wahab kepada Dzat Yang Maha Agung lagi Mulia, Allah SWT.
Bahkan logika semacam ini pun tidak pernah dipakai oleh kelompok manapun
selain kelompok Wahabi ini.
Penolakan demi penolakan terus
digencarkan kelompok pengikut Muhammad bin Abdul Wahab tetapi
terbantahkan dengan sendirinya. Penolakan ini terjadi dikarenakan
istilah Wahabi sudah menjadi istilah umum yang mempunyai makna negatif
mengingat sejarah kelam dulu. Selain itu, mereka juga tidak ingin
terkesan berhenti pada satu sosok Muhammad bin Abdul Wahab karena
sebagian mereka mengklaim bahwa dakwah mereka adalah dakwah Nabi SAW
bukan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab. Meski ada sebagian yang
terang-terangan menyebut dirinya dengan Wahabi dan sebagian lagi masih
malu-malu menggunakan nama tersebut.
Bagi mereka yang tidak suka memakai
istilah Wahabi berusaha menggelari diri dengan istilah kelompok
al-Muwahidun. Dikarenakan nama al-Muwahidun juga sama seperti Wahabi
yang mempunyai sejarah hitam akhirnya beralih dengan istilah baru yaitu
Salafi/ pengikut manhaj salaf/ pengikut kaum Salaf yang menurut
mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam yang
original dan kehidupan murni menurut Sunnah Rasulullah SAW.
Jika penamaan Wahabi ini berhasil mereka
hapus dari ingatan kaum muslimin, maka dengan mudah mereka akan mampu
mentasbihkan diri sebagai representasi yang paling absah dari generasi
salaf, atau bahkan dari agama Islam itu sendiri. Oleh karenanya, saat
ini, dengan penuh susah payah dan begitu gigihnya mereka berupaya sekuat
tenaga untuk mempropagandakan nama baru bagi kelompok mereka dengan
sebutan yang lebih elegan dan lebih Islami, yakni Salafi. Meskipun
penggunaan istilah Salafi ini sendiri telah mendapat vonis bid’ah dari
ulama ahlussunnah yang bernamma al-Allamah Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi dalam kitab beliau yang berjudul “As-Salafiah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah Laa Madzhabun Islamiyyun” (lihat hal: 221).
Sebenarnya kalau kita lacak lebih jauh,
penamaan aliran ini dengan nama Wahabi sudah diterima dengan bangga oleh
para pengikut Wahabi generasi awal. Bahkan Sulaiman bin Sahman an-Najdi
yang juga salah satu pelopor kelompok ini menulis sebuah kitab dengan
judul “al-Hadiyyah as-Saniyyah Wa at-Tuhfah al-Wahabiyyah an-Najdiyyah”.
Judul kitab tersebut sudah sangat jelas menggunakan al-Wahabiyyah atau
Wahabi. Hal ini juga diamini oleh para pengikut lainnya semisal Muhammad
bin Abdul Lathif, Hamid al-Faqihi, Muhammad Rasyid Ridlo, Abdullah
al-Qosimi, Sulaiman ad-Dakhil, Ahmad bin Hajar Abu Thami, Mas’ud
an-Nadawi, Ibrahim bin Ubaid dan lainnya. Hanya saja, Hamid al-Faqihi
memberi tawaran istilah yang menurutnya lebih pas untuk para pengikut
dakwah Muhammad Ibnu Abdil Wahab ini, yaitu dengan sebutan “ad-Dakwah al
-Muhammadiyyah”. Tawaran ini pun diamini oleh Shaleh Fauzan saat
mengkritik Syekh Abu Zahrah yang menggunakan istilah Wahabi dan
memasukkannya dalam daftar kelompok-kelompok baru (al-Firaq al-Haditsah).
Jadi, dari segi penerimaan istilah Wahabi ini telah terjadi perbedaan
presepsi antara generasi awal dan akhir (kontemporer). Akan tetapi,
kitab karangan Sulaiman bin Sahman adalah satu bukti nyata dan bantahan
atas para pengikut dakwah Wahabi yang tidak mau dan tidak suka untuk
disebut kelompok Wahabi.
Masa Kecil Ibnu Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada
tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najed), lebih kurang 70 km
arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ibnu Abdul
Wahab tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya
adalah seorang ulama ahlussunnah di lingkungannya. Sedangkan kakaknya
juga seorang ulama ahlussunnah yang menjabat sebagai qadhi (mufti
besar), tempat di mana masyarakat Najed menanyakan segala sesuatu
masalah yang bersangkutan dengan agama Islam.
Sebenarnya ulama dan ahli sejarah
berselisih pendapat tentang kelahiran Muhammad Abdul Wahab. Ia dikatakan
lahir tahun 1690M/1111H sebagaimana pendapat asy-Syaikh Zaini Dahlan
Mufti Mekah yang juga ahli dan pakar sejarah Islam, sementara tahun
1694M/1115H adalah pendapat golongan Wahabi dan tahuun 1703M/1124H
adalah menurut ahli sejarah Barat. Muhammad Iqbal mengatakan ia lahir
pada 1700M/1121H.
Menurut seorang ulama Wahabi Husain Ibnu Ghunnam dalam kitabnya Tarikh Najd mengatakan
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab sejak kecil sangat pintar dan
cerdas. Sulaiman –saudaranya- meriwayatkan bahwa ayah mereka memiliki
firasat yang baik padanya, dan kagum dengan kecerdasan anaknya tersebut.
Bahkan dikatakan ayahnya banyak belajar hukum Islam kepada anaknya yang
masih kecil itu. Ayahnya pun menulis surat kepada saudaranya dan
menuturkan bahwa putranya ini telah dewasa (baligh) dan telah dijadikan
imam dalam shalat jama’ah bersama masyarakat. Ayahnya kemudian
menikahkannya pada umur 12 tahun –tidak lama setelah mencapai usia
baligh-, lalu mengizinkannya untuk menunaikan ibadah haji. Maka Muhammad
bin Abdul Wahab kecil pun berangkat haji bersama ayahnya.
Setelah selesai melaksanakan ibadah
haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahab
tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana.
Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk untuk berziarah dan belajar agama
berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru kepada dua orang
ulama yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh
Muhammad Hayah al-Sindi (Lihat: Tarikh Najd Ibnu Ghunnam).
Namun, catatan yang ditulis Ibnu Ghunnam
bertentangan dengan apa yang dituturkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin
Abdullah an-Najdi al-Hambali, seorang mufti madzhab Hambali di Mekkah (W
1295 H). Beliau mengatakan dalam kitabnya yang berjudul “as-Suhub al-Waabilah ‘Ala Dlaraaihil Hanaabilah”
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab baru berani memulai dakwahnya secara
terang-terangan setelah orang tuanya wafat. Bahkan orang tuanya sangat
marah kepadanya karena ia tidak mau belajar ilmu fikih sebagaimana para
pendahulunya (Lihat: Al Maqaalaat As Sunniyyah, hal: 56).
Syekh Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti
madzhab Syafi’i sekalugus pakar sejarah di Mekkah yang hidup pada era
akhir kekhilafahan Turki Utsmaniyyah berkata “Awalnya Muhammad bin Abdul
Wahab adalah seorang penuntut ilmu di Madinah Munawwarah. Ayah dan
saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab adalah orang shaleh dan termasuk
ulama. Ayah, saudara dan guru-gurunya mempunyai firasat buruk bahwa ia
akan tersesat. Hal itu setelah mereka melihat perkataan, perbuatan dan
kecenderungannya di berbagai permasalahan agama” (al Futuhaat al
Islamiyyah: 2/66).
Dikatakan demikian, karena memang
ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut banyak yang
berseberangan dengan para ulama ahlussunnah saat itu. Bahkan dengan
ajarannya itu, ia telah mengkafirkan orang-orang Islam itu sendiri. Ia
berkata bahwa ziarah ke makam Rasulullah SAW, tawassul dengannya, atau
tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang
shaleh, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah
perbuatan syirik. Menurutnya memanggil nama Nabi ketika bertawassul
adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau
memanggil para wali Allah dan orang-orang shaleh untuk tujuan tawassul
dengan mereka adalah perbuatan syirik. Dan masih banyak
penyimpangan-penyimpangan dalam ajarannya yang berlawanan dengan ajaran
ahlussunnah wal jama’ah.
Begitulah Muhammad bin Abdul Wahab,
sosok yang independen dan tidak mau berkiblat pemahaman kepada siapa
pun, bahkan kepada gurunya. Kalau pun ada yang mempengaruhi gaya
berpikirannya bisa jadi itu adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Karena
pandangannya dalam masalah tauhid dekat dengan kedua tokoh abad ke-7
tersebut. Akan tetapi saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahab
nampaknya tidak setuju dengan hal ini. Oleh karenanya dalam menulis
bantahan terhadap saudara kandungnya tersebut dalam kitab yang berjudul “Ash-Shawaiq Al Ilahiyyah Fi Roddi ‘Ala Wahabiyyah”
Syekh Sulaiman memakai argumentasi-argumentasi Ibnu Taimiyah untuk
mematahkan argumentasi saudaranya tersebut, khususnya dalam masalah
takfir.
Independensi berpikir Muhammad bin Abdul
Wahab ini bisa dilihat dari beberapa pernyataannya sendiri. Diantaranya
ia berkata: “Alhamdulillah aku tidak mengajak kepada madzhab Sufi, ahli
fikih, ahli kalam atau seorang imam dari imam-imam yang aku agungkan
seperti Ibnu Qayyim, adz-Dzhabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Akan tetapi
aku mengajak kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya dan kepada Sunnah
Rasulullah SAW.” (Lihat: Da’awa Munaafi`iin, Abdul Aziz Muhammad bin Ali
al Abd al Lathif, hal: 50).
Demikian juga, ia pernah berkata: “Aku
telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku
telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa
Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah
(pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga
guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna
Laa Ilaaha Illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama
sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui maknaLaa Ilaaha Illallah,
atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya
atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan
mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan
sesuatu yang tidak ada pada dirinya” (ad Durar as Saniyyah: 10/51) .
(Lihat: Daiyan Walaisa Nabiyyan, hal: 82).
Kehidupan Ibnu Abdul Wahab di Madinah
Sesudah menunaikan ibadah haji di
Baitulloh, Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke kota Madinah. Selama di
Madinah, Muhammad bin Abdul Wahab mempelajari ilmu-ilmu agama. Para guru
yang mengajarinya tampak gelisah atas apa yang ada dalam diri Ibnu
Abdul Wahab. Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab
ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat,
dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya.
Muhammad ibn Abdil Wahhab membantah
dengan mengatakan bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai
pemurnian tauhid (Aqidah Salafiyah) dan untuk membebaskan dari syirik.
Ia berkeyakinan bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari
masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia
mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka,
mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada aqidah Islam yang murni
(tauhid), jauh dari sifat khurafat, takhayul, atau bid’ah.
Banyak pernyataan-pernyataan yang dibawa
Muhammad bin Abdul Wahab bertentangan dan berlawan dengan ajaran
ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran, bantahan dan sikap penolakan atas
ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab inipun mengalir
deras dari para ulama Makkah dan Madinah saat itu, sampai akhirnya dia
terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah dia
berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini (Lihat: Al Maqâlât Al
Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).
Orang-orang yang menolak ajaran Muhammad
bin Abdul Wahab dikatakan oleh pengikut kelompok Wahabi sebagai
musuh-musuh dakwah yang ingin membendung dakwah tauhid. Musuh-musuh
dakwah tauhid ini mereka kelompokan menjadi 3 golongan. Pertama, Golongan
ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan
yang batil itu haq. Wahabi menuduh golongan ini sebagai penyembah
kuburan, yang lebih suka bersembahyang dan berdoa di kuburan dan
mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur itu. Dikatakan orang yang
berziarah ke makam itu musyrik karena meminta-minta kepada penghuni
kubur dan dikatakan juga itu adalah tradisi jahiliah yang menjadi adat
tradisi nenek moyang yang harus diperangi menurut mereka.
Kedua, golongan ulama
taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Muhammad bin
`Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Dikatakan mereka hanya taqlid belaka
dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Muhammad bin
`Abdul Wahab yang disampaikan oleh golongan pertama di atas sehingga
mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan
golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri
dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Muhammad bin `Abdul Wahab
dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan
memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka.
Ketiga, golongan yang
takut kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka
golongan ini dikatakan memusuhi Muhammad bin `Abdul Wahab supaya dakwah
Islamiyah yang dilancarkan oleh Muhammad bin `Abdul Wahab yang
berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh
suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Sungguh tuduhan-tuduhan kelompok Wahabi
di atas jelas tidak ada landasan, asal-asalan dan mengada-ada. Bagaimana
mungkin orang yang berziarah kubur dikatakan sebagai penyembah kubur
padahal itu adalah Sunnah Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para
sahabat, Salafus Sholeh, ulama-ulama ahlussunnah dan ummatnya hingga
saat ini. Sebutan penyembah kubur atau orang Wahabi menyebut kaum
Kuburiyyun adalah tuduhan keji yang menyakiti hati umat Islam. Apakah
orang-orang Wahabi ini sudah membedah hati para peziarah sehingga tampak
dalam hatinya kemusyrikan?
Dan lihatlah siapa yang terjebak dengan
berita-berita negatif tentang Muhammad bin Abdul Wahab. Penolakan justru
datang dari ayahnya dan saudaranya sendiri. Siapa yang lebih tahu dan
paham hakikat Muhammad bin Abdul Wahab dan ajarannya selain ayah dan
saudaranya sendiri. Mereka yang membesarkan Muhammad bin Abdul Wahab,
mereka hidup bersama Muhammad bin Abdul Wahab, dan mereka satu rumah
dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Ayahnya sendiri yang mengasuh dan
mendidik sejak kecil sehingga pastinya paham betul siapa itu Muhammad
bin Abdul Wahab dan bagaiman sifatnya. Tidak ada istilah ikut-ikutan
apalagi terjebak dan membangga-banggakan golongan seperti yang Wahabi
tuduhkan. Justru mereka kaum Wahabi yang terjebak dan berbangga diri
akan golongannya sendiri, tidak mau mendengar penuturan para ulama dan
hanya tunduk patuh taat kepada ulama kelompok mereka.
Mari kita lihat sejenak bagaimana
saudaranya sendiri asy-Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab menolak dengan
keras ajaran yang dibawa oleh adiknya. Syekh Sulaiman menulis sebuah
risalah yang sangat terkenal yang bertajuk “As-Shawâiq al-Ilâhiyah Fi Raddi ‘Ala Wahâbiyah”
untuk menolak ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, adiknya. Bahkan beliau
dan ayahnya telah mengetahui ajarannya yang meragukan sejak Muhammad bin
Abdul Wahab belajar di Madinah. Keduanya memperingatkan akan bahaya
pendapat dan pemahaman ajarannya.
Syeikh Sulaiman saudara kandungnya
sendiri menulis dalam kitabnya itu sebagai berikut: “Sejak zaman sebelum
Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah
ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan
mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi
mereka. Belum pernah ada seorangpun dari para imam kaum Muslimin yang
menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang,
sebagaimana yang anda Muhammad Abdul Wahhab katakan sekarang. Bahkan
lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih
telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun
demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang
meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang
Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan anda ini ialah anda
mengatakan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal)
-semoga rahmat Allah tercurah atasnya- baik para ulamanya, para
penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Lihat Risalah Arba’ah Qawa’id,
Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4). Untuk selengkapnya lihat bagian: Penentangan Terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.
Dan lebih menggelikan lagi dikatakan
bahwa yang menentang ajaran Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang
takut kehilangan jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Pernyataan bodoh yang
tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang penolakan terhadap ajaran
Muhammad bin Abdul Wahab justru datang dari keluarganya sendiri, para
gurunya, dan para ulama Makah dan Madinah saat itu.
Pergerakan dan Serangan di Basrah
Akibat pendapat dan pandangan Muhammad
bin Abdul Wahab yang ekstrim dan banyaknya penolakan ulama-ulama Makah
dan Madinah saat itu membuat dia harus diusir dari kota tersebut dan
pergi menuju Basrah, Iraq. Dia pun mulai lagi menyebarkan ajarannya di
Basrah setelah tidak diterima di Makah dan Madinah. Di sana dia
berbincang dengan beberapa ulama’ fuqaha’ lalu memberikan dan menyatukan
beberapa pandangan baru dan lama, akan tetapi dia justru dimarahi dan
diusir lagi. Dia pun mengungsi ke Mesir. Namun, keadaannya di Mesir pun
tidak berbeda dengan di tempat-tempat sebelumnya. Akhirnya ia pun diusir
lagi dan memutuskan pergi ke Syam. Lagi-lagi di Syam ia mengalami
pengusiran serupa maka ia kembali lagi ke Najed melarikan diri ke
Uyainah tempat kelahirannya. Saat itu Amir Uyainah yang bernama Ustman
bin Mua’ammar sempat bersahabat dengannya dan bahkan menikahkan anak
perempuannya dengannya. Meski begitu, Amir Uyainahah akhirnya
mengusirnya dan terpaksa ia harus meninggalkan Uyainah.
Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh
penduduk Uyainah karena sikap dan gagasan ekstrimnya yang terus menerus
menyebarkan pandangan barunya. Ia tidak segan-segan mengkafirkan semua
penduduknya, baik ulama’nya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar
as-Saniyah jilid 8 halaman 57). Alhasil penolakan terjadi dimana-mana
bahkan dengan ayahnya sendiri terjadi perselisihan hebat. Keadaan
tersebut terus berlanjut hingga tahun 1153H/1740M, saat ayahnya
meninggal dunia.
Penyebaran Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab
Sejak Ayahnyya meninggal, Muhammad bin
Abdul Wahab serasa mendapat angin segar karena ia tidak lagi mendapat
tantangan dari orang terdekatnya yakni ayahnya. Ia pun tidak lagi
terikat dan secara terang-terangan bebas mengemukakan akidah-akidahnya
sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang
dilakukan umat Islam saat itu.
Dia mulai merencanakan strategi baru
guna menyebarkan ajarannya dengan menyusun sebuah gerakan atau barisan
yang ia namakan ahli tauhid (Muwahhidin) yang diyakininya sebagai
gerakan yang memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh
lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan
Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai
pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah
diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir
Usman menyambut ide dan gagasan Muhammad ibn Abdil Wahhab dan berjanji
akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut meski mendapat penolakan
dari penduduk setempat.
Suatu ketika, Muhammad bin Abdul Wahab
meminta kepada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang
dibuat di atas makam Zaid bin al-Khattab. Perlu diketahui, Zaid bin
al-Khattab adalah saudara kandung sahabat Umar bin al-Khattab, Khalifah
Rasulullah yang kedua. Menurut pandangannya membuat bangunan di atas
kubur dapat menjerumuskan umat kepada kemusyrikan.
Amir Usman menjawab “Silakan… tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencana yang mulia ini.”
Tetapi Muhamamd bin Abdul Wahab khawatir
masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal
berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang
tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Muhammad ibn Abdil Wahhab
merobohkan makam suci itu. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Muhammad
bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Usman bin Muammar.
Pergerakan Muhammad bin Abdul Wahhab
tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam
lain yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya
adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek
peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Sikap dan tindakan ekstrim Muhammad bin
Abdul Wahab terdengar luas sampai keluar wilayah Uyainah dan tercium
oleh pemerintah Ahsa. Mendengar berita tersebut, pemerintah Ahsa
memerintahkan Amir Uyainah untuk menghentikan kelakuan ekstrim yang
merusak yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. Amir Uyainah kemudian
memanggil Muhammad bin Abdul Wahhab dan memerintahkannya untuk
meninggalkan daerah Uyainah.
Muhammad bin Abdul Wahhab terpaksa
mengungsi ke daerah lain dan dia berhasil diusir oleh penduduk setempat
karena dinilai ajarannya yang ekstrim dan sesat. Tidak segan-segan dia
mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya.
(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57)
Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi
ke wilayah Dir’iyyah. Dari Dir’iyah inilah ajaran Muhammad bin Abdul
Wahab bak menemukan telaga di tengah gurun pasir yang panas.
Posting Komentar
ss